Ilustrasi WHO

THENEWSULSEL.COM, JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO merekomendasikan obat penghambat reseptor interleukin-6 dalam daftar obat untuk pasien Covid-19. 

Interleukin-6 merupakan obat kedua yang direkomendasikan WHO efektif melawan Covid-19, saat pandemi virus corona yang belum juga mereda. 

Menurut WHO, obat-obatan bekerja sangat baik jika digunakan bersama corticosteroids, yang direkomendasikan oleh WHO pada September 2020. 

"Obat-obatan ini menawarkan harapan bagi pasien dan keluarga yang menderita dampak buruk dari Covid-19 yang parah dan kritis," jelas Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Rabu (7/7/2021).

Disebutkan, pasien dengan kasus Covid-19 yang parah sering menderita reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, dan obat interleukin-6 (tocilizumab dan sarilumab) berfungsi menekan reaksi berlebihan itu.

WHO mengatakan uji coba menunjukkan bahwa pemberian obat ini mengurangi kemungkinan kematian sebesar 13 persen, dibandingkan dengan perawatan standar. 

Artinya, dengan penggunaan interleukin-6 diharapkan jumlah kematian pada pasien sakit kritis bisa berkurang. 

Dengan penggunaan obat ini, kemungkinan pasien yang sakit parah dan kritis yang memakai ventilator berkurang 28 persen, dibandingkan dengan perawatan standar. 

Rekomendasi WHO ini menjadi kabar gembira di tengah munculnya varian Delta yang lebih berbahaya. 

Menurut WHO, Tocilizumab termasuk dalam kelas obat yang disebut antibodi monoklonal (mAbs). 

Obat ini digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit, antara lain radang sendi dan kanker. Obat ini diproduksi oleh raksasa farmasi Swiss, Roche. 

Mengutip kompas.com, obat itu dijual di bawah nama merek Actemra. Sesuai rekomendasi WHO, Doctors without Borders mendesak Roche untuk menurunkan harga obat, agar terjangkau dan dapat diakses masyarakat luas. 

Roche juga diminta untuk berbagi pengetahuan, lini sel induk, dan teknologi dari obat itu, sehingga memungkinkan obat itu diproduksi oleh produsen lain lintas dunia.

“Obat ini penting untuk merawat orang dengan kasus Covid-19 yang kritis dan parah serta mengurangi kebutuhan akan ventilator dan oksigen medis yang langka di banyak tempat,” kata Julien Potet, Penasihat Kebijakan Penyakit Tropis. 

Menurut Julien, Roche sebagai produsen obat ini, harus berhenti mengikuti pendekatan bisnis agar harga obatnya lebih terjangkau. 

Baca: 12 Obat Sudah Dapat Izin BPOM untuk Covid-19, Lihat Daftarnya, Tak Termasuk Ivermectin?

Sebagian besar obat antibodi monoklonal (mAbs) mahal. Karena itu, obat ini dikhawatirkan tidak terjangkau oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 

MSF mengatakan, tocilizumab sudah ada di pasaran sejak 2009, namun harganya sangat tinggi di sebagian besar negara. 

Dalam dosis 600 mg yang dibutuhkan untuk Covid-19, kisaran harganya 410 dollar AS (Rp 5,9 juta) di Australia, 646 dollar AS (Rp 9,3 juta) di India, dan 3.625 dollar AS (Rp 52.5 juta) di Amerika Serikat. 

Sarilumab, obat antibodi monoklonal (mAbs) kedua yang direkomendasikan oleh WHO, dibuat oleh perusahaan farmasi AS Regeneron dan pembuat obat Perancis Sanofi. Produk ini dipasarkan dengan merek Kevzara. 

Baca: Penerimaan CPNS 2021 Kementerian Agama, Buka 10.819 Formasi, Ini Informasi Lengkapnya

Baca: Presiden Ini Tewas Ditembak di Rumahnya Jelang Pilpres

WHO meminta produsen untuk menurunkan harga obat, menerima perjanjian lisensi non-eksklusif yang transparan atau mengabaikan hak eksklusivitas. 

Menurut Ghebreyesus, distribusi vaksin yang tidak merata membuat warga negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah paling rentan terhadap infeksi parah Covid-19. 

Artinya, kebutuhan terbesar obat-obatan ini adalah di negara-negara yang saat ini memiliki akses paling sedikit. Karena itu, kita harus segera mengubah harga obat tersebut. (*)


Tags: Covid 19 Covid-19 Pandemi Pandemi Covid19 paparan Covid-19

Baca juga