Warga desa juga tidak kalah ramahnya seolah-oleh mengatakan bahwa saya tidak sendiri. Saya merasa bahwa inilah keluarga baru saya.Terkadang mereka membawa sayur, ubi, buah-buahan, atau mengajak berjalan-jalan keliling desa.
Penghasilan utama warga setempat sangat bergantung pada hasil kebun yakni kopi Arabika, tamarillo, dan markisa.
Susahnya akses ke desa ini membuat harga komoditi tersebut sangat murah. Bahkan ada yang memberlakukan sistem barter.
Saya
pikir sistem ini hanya berlaku saat uang sebagai alat tukar masih jarang
digunakan. Ternyata di desa ini warga masih menukar kopi dengan gula dan beras.
Pertukaran tersebut masih tidak sebanding dengan harga kopi setempat.
Tak
terbayang betapa rumitnya menanam, memelihara, memetik, dan mengolah kopi di
lahan yang tidak biasa ini.
Padahal kopi Arabika dari desa ini memiliki citarasa dan aroma yang khas, bahkan menjadi salah satu varian kopi terbaik dalam perdagangan kopi di dunia.
Oleh karena itu, beberapa pihak sedang berusaha untuk memberdayakan petani kopi Pulu’-Pulu’ untuk meningkatkan hasil panen dan belajar mengolah kopi bubuk yang dapat dijual dengan harga yang lebih menjanjikan.
Jika kopi Pulu’-Pulu’ lebih dihargai, tentu hal ini akan turut mendongkrak peningkatan kesejahteraan warga setempat.
Kopi dari desa ini memang sangat nikmat. Rasanya berbeda dari kopi lain. Kata penikmat kopi, kopi Pulu’-Pulu’ terasa lebih gurih layaknya almond. Ini dikarenakan kopi yang ditanam di daerah ketinggian yang subur.
Selain itu, petani kopi tidak menggunakan fertilizer atau pupuk kimia. Hanya pupuk alami yang digunakan demi mempertahankan cita rasa kopi dan menekan pembelian pupuk yang harganya tidak main-main.
>> Selanjutnya